Festival “Empat Gunung”: Menghidupkan Spiritualitas Marapu di Tanah Humba
Agus Dwi Hastutik – WALHI / FoE Indonesia
Tanah Humba, di mana rumah alang-alang menjadi gerha peraduan bumi dan langit, setiap lantunan yang dinyanyikan menyanjungkan pemujaan, sirih dan pinang yang menyatukan masyarakat, tradisi yang dihidupkan membawa keberkatan, dan mata air yang dikeramatkan senantiasa memberi kesejukan alam.
Wai Maringi Wai Ma La La, Maringi Na adalah salam yang menyambut ketika saya memulai perjalanan pertama kali di Tanah Humba. Orang Sumba menyebut tanah mereka adalah Tanah Humba. Salam tersebut berarti kesejukan yang terus terpelihara dan dibalas dengan kesejukan yang terus menerus. Perjalanan saya di tanah Sumba dimulai dari Waingapu menuju Lewa. Sebuah mobil tua membawa kami ke jalan yang berkelok-kelok dari bagian utara menuju timur. Hamparan sabana hijau yang membelah lembah, kuda yang berkeliaran bebas dan rumah alang-alang yang berdiri menjadi pemandangan ikonik dan permai yang langsung membuat saya terpesona.
Sepanjang perjalanan, saya hanya bisa menatap dengan kagum. Sumba dengan keasrian alamnya, memberikan perasaan seakan kehidupan melambat dan memberitahu saya untuk menikmati hidup yang sesungguhnya.
Saya tiba di sebuah kampung Adat di Kecamatan Lewa, Sumba Timur, yang terletak tepat di jantung hati Tanah Humba setelah dua jam perjalanan. Memasuki kampung adat ini, kami harus berjalan melalui jalan setapak yang dikelilingi oleh alam yang masih asri, naik ke punggung bukit dimana kampung Adat Kambata Wundut berdiri.
Di atas bukit kecil inilah perjalanan pencaritahuan saya dimulai, memberikan isyarat untuk mengetahui lebih banyak tentang Sumba. Membenamkan diri di negeri spiritual dengan tenang, menyatu dengan masyarakat Sumba yang masih menjunjung kuat nilai adat dan tradisi dan merasa rendah hati dengan keramahtamahan mereka. Sirih dan pinang adalah sajian pertama yang saya terima sekaligus tanda persaudaraan dengan mereka.
Saya bertemu dengan ratusan masyarakat dari empat gunung utama di Sumba, Gunung Wanggameti di Sumba Timur, Gunung Tanadaru di Sumba Tengah, Gunung Punorobbu di Sumba Barat, dan Gunung Yawilla di Sumba Barat Daya. Begitu saya duduk di depan panggung kecil di atas bukit, saya disambut oleh wajah orang Sumba yang tersenyum. Dan ketika saya melihat sekeliling, lebih banyak wajah tersenyum menyambut saya. Masyarakat berkumpul untuk merayakan tradisi serta menjalankan festival tahunan “Empat Gunung” Wai Humba yang rutin dirayakan sejak tahun 2012.
Wai dalam bahasa Sumba berarti air, dan Humba adalah Tanah Sumba. Secara harfiah, Wai Humba adalah Air Humba yang memberikan kehidupan dan menghidupkan segala sesuatu di atas Tana Humba, dari hulu sampai hilir.
“Nda Humba Li La Mohu A Kama” yang berarti “Kami bukan Sumba yang menuju kemusnahan” menjadi ruh yang mendorong terciptanya perayaan ini. Festival “Empat Gunung” Wai Humba adalah festival untuk melestarikan budaya dan tradisi Humba dan mendekatkan kembali manusia dengan penciptanya dan alam yang selama ini menyokong kehidupan manusia.
Festival Wai Humba juga merupakan refleksi, gerakan, dan simbol perlawanan masyarakat adat Humba. Refleksi budaya Humba dan spiritualitas Marapu, serta ketakutan akan kepunahannya. Gerakan untuk menyatukan kembali Sumba menjadi satu dan utuh. Meski kini Sumba telah dibagi menjadi empat bagian administratif, masyarakat adat Sumba adalah satu. Masyarakat adat yang berasal dari nenek moyang yang sama dari Haharu Malai dan masyarakat adat Sumba yang memeluk kepercayaan Marapu.
Terakhir, simbol perlawanan untuk mempertahankan wilayah Sumba dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang menjadi ancaman dalam beberapa tahun terakhir. Simbol yang tergambar dalam festival ini juga berbicara tentang pengabdian masyarakat Sumba dalam kehidupan sehari-hari. Apakah mereka menghargai budaya, bahasa, dan ritual Sumba?
Gunung adalah simbol kehidupan dan sumber mata air yang mengaliri kehidupan tanah Sumba. Masyarakat Sumba selalu percaya, bahwa siapapun mereka yang hidup dari tanah Sumba, minum dari air Sumba, maka itu dalam pikiran dan tanggung jawab mereka untuk selalu menjaganya.
Gunung Wanggameti, Gunung Tanadaru, Gunung Purunobu dan Gunung Yawilla adalah empat kawasan utama di Sumba yang dikeramatkan dan berfungsi sebagai penopang utama kehidupan orang Sumba sebagai penyedia air, sandang, pangan dan papan.
Dengan mengangkat tema “Tana Beri Ina Mu” (Tanah Ibarat Ibumu), Festival Wai Humba kesembilan digelar selama empat hari pada 17-20 November 2022, di Kampung Adat Wundut, Kecamatan Lewa, Timur Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur, menyusul kesuksesan festival-festival sebelumnya.
“Tana Beri Ina Mu. Tanah ibarat ibumu. Tanah adalah ibumu. Maka siapa yang sewenang-wenang terhadap tanah, ia sewenang-wenang terhadap ibunya. Menghormati dan merawatnya berarti kita berpihak kepada marwah ibu kita, dan sebaliknya merusaknya berarti mengkhianati marwah ibu kita.” Ucap Mikael Keraf, salah satu dinamisator Festival Wai Humba dalam orasi pembukaan Festival Wai Humba.
Masyarakat Humba memiliki tiga nilai luhur yang selalu mereka junjung tinggi: nilai Ketuhanan (Marapu), Kemanusiaan, dan Ekologis. Ketiga nilai tersebut selalu hadir dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pedoman hidup yang dipegang erat secara turun-menurun. Hal ini digambarkan misalnya pada rumah adat uma mbatang (rumah alang-alang) yang memiliki tiga bagian. Tingkatan pertama atau bagian kolong rumah adalah ruangan untuk ternak antara lain ayam, babi, bebek, dan hewan lainnya. Tingkatan kedua merupakan tempat manusia beristirahat, sekaligus makna menjaga ikatan manusia dengan manusia lainnya yang dibuktikan dengan gotong royong, swadaya, dan mandara (praktik barter) yang masih dilakukan oleh masyarakat. Tingkat ketiga atau bagian menara rumah adalah nilai Ketuhanan, yang mengatur hubungan antara manusia dan Sang Pencipta (Marapu).
Gambar 1: Kampung Adat Wundut atau dalam bahasa adat Kambata Wundut, lokasi dimana festival Wai Humba XI dilaksanakan.
Dalam praktiknya, ketiga prinsip tersebut terhubung dan diabadikan dalam upacara adat masyarakat Sumba. Misalnya, untuk menjamin kelestarian mata air yang merupakan bagian penting dari identitas Sumba, masyarakat melakukan ritual yang disebut Kalarat Wai.
“Kalarat Wai atau Pa Erri Wee adalah ritual pengkeramatan yang diwariskan oleh leluhur Sumba melalui sembahyang yang dilakukan di lokasi mata air yang bertujuan meminta perlindungan dan pemeliharaan mata air dari Sang Khalik.” Ungkap Triawan Umbu Uli Mehakati, atau lebih akrab disapa Umbu Tri, salah satu dinamisator festival Wai Humba.
Festival Wai Humba sebenarnya lahir dari kegalauan tentang Sumba yang menuju kepunahan akan manusianya yang sudah tidak lagi mengenal budaya, adat, tradisi mereka karena pengaruh luar. Ketiga nilai luhur yang selama ini menjadi pedoman juga masyarakat mulai ditinggalkan.
Pemicu atas lahirnya festival Wai Humba adalah ancaman dari pihak luar yang bertujuan untuk menambang kekayaan alam di Sumba dan melakukan perusakan alam. Di tahun 2011, ada tiga tokoh petarung Sumba yang melakukan perlawanan terhadap pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan di wilayah gunung Tanadaru, Sumba Tengah. Mereka adalah Umbu Mehang, Umbu Njanji dan Umbu Pindingara yang dipenjara selama sembilan bulan karena melakukan perlawanan terhadap sumber penghancur kehidupan yang dikeramatkan.
“Ketiga tokoh tersebut menjadi motor penggerak dan yang yang menginisiasi perlawanan di Tana Humba. Lahirnya festival ini juga merupakan tribut untuk melawan lupa untuk terus akan model pembangunan yang ekstraktif,” sambung Umbu Tri.
Gambar 2: Menurut orang sumba, reti (kuburan) adalah rumah peristirahatan terakhir setelah roh pergi ke Prai Marapu, rumah abadi. Kuburan biasanya dibangun di depan rumah mereka. Penghargaan terhadap orang mati (Marapu) itu sangat besar, supaya mudah dilihat dan dijaga, di acara besar kuburan tersebut itu dikasih sirih dan pinang.
Ruang konsolidasi dan perayaan tradisi
Kembali setelah dua tahun absen karena pandemi covid, Festival Wai Humba tidak menyurutkan antusias dan semangat masyarakat empat gunung. Dengan pinang dan sirih yang selalu menjadi kunyahan mereka, pekikan kemenangan kayakak yang diserukan oleh kelompok laki-laki dan langsung dibalas dengan pekikan kakalak oleh kelompok perempuan senantiasa memantik semangat festival. Semangat teriakan yang seakan tak takut dengan suara yang akan mengering. Dan alunan musik tradisional yang selalu dibunyikan ketika ada pergantian agenda atau disahkannya sebuah kesepakatan, Kampung Adat Wundut begitu hidup.
Dikemas dalam pesta rakyat, ibadah, diskusi antar gunung, ritual, sekaligus kampanye budaya dan lingkungan, Festival Wai Humba dibuka dengan penyambutan masyarakat dari empat gunung dan tamu undangan dengan panggaratau, tradisi penjemputan dengan kuda di pintu masuk kampung adat yang kemudian diikuti berbagai tarian tradisional yang dipentaskan oleh orang Humba.
“Ibaratnya tamu yang disambut itu adalah tamu-tamu yang baru saja pulang dari perang atau perjalanan dan siap kembali bersama kita.” Kisah Umbu Tri.
Gambar 3: Penjemputan masyarakat empat gunung di pintu masuk Kampung Adat Wundut dengan panggaratau.
Gambar 4: Penjemputan masyarakat empat gunung di pintu masuk Kampung Adat Wundut dengan panggaratau.
Orang-orang Sumba tampil dengan elok dan gagah dengan pakaian adat yang kaya warna dan penuh makna milik mereka. Laki-laki mengenakan hinggi (kain yang diikatkan di pinggang) dan perempuan mengenakan lawu (semacam sarung). Komunitas empat gunung secara swadaya membawa hasil bumi, singkong, jagung, pinang, dan ternak, ayam, babi, bebek dari wilayah masing-masing.
Gambar 5: Penjemputan tamu empat gunung dengan tarian tradisional.
Gambar 6: Kedatangan masyarakat empat gunung, masyarakat bersiap untuk memeriahkan festival.
Pembagian hasil bumi di Sumba didasarkan pada potensi alam dari lanskap yang beragam. Topografi Sumba bagian utara yang terdiri dari padang savana yang luas dan iklim yang cenderung kering menjadikannya sebagai penyedia hewan ternak, seperti kuda, babi, ayam, dan kerbau. Sumba Timur dengan persawahan yang lebih luas dari ketiga kabupaten lainnya serta iklim yang kering memudahkan penanaman padi dan jagung pada musim hujan sehingga menjadi penghasil padi dan jagung. Sedangkan di bagian barat Sumba dengan iklim yang cenderung tropis dingin dengan rangkaian pegunungan dan perbukitan kapur yang merupakan daerah yang kaya akan rempah-rempah dan pangan.
Gotong royong telah tertanam jauh dari dalam masyarakat Sumba. Selama berjalannya festival, masyarakat berbagi tugas, bahu-membahu untuk menyukseskan festival yang menjadi ruang konsolidasi mereka.
Setelah seluruh peserta dari empat gunung hadir. Tikam babi menjadi pertanda secara resmi dimulainya festival. Disaat darah (babi) sudah mengalir, disitulah kesepakatan untuk menjalankan festival dimulai. Tikam babi dipimpin oleh seorang Rato, pemimpin ritual kepercayaan Marapu, mengikat kesepakatan yang telah dibuat.
Gambar 7: Tikam babi sebagai penanda dibukanya festival secara resmi. Ketika darah babi sudah mengalir menjadi pertanda kesepakatan dimulai dan harus dipelihara (njanjaru wai riya-petok tai).
Babi merupakan hewan yang secara budaya dekat dengan masyarakat Sumba. Selain babi, ayam adalah hewan yang dijadikan penunjuk (hatinya) untuk melihat masa depan, melihat segala kecenderungan, segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas manusia. Selain itu, karena babi dan ayam dianggap tidak memiliki strata sosial dan setiap orang Sumba bisa memilikinya.
“Kabar dari Empat Gunung” adalah kegiatan pertama seusai tikam babi. Saya berkesempatan untuk duduk bersama dan mendengar kisah dari para rato dan masyarakat empat gunung. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk berbagi kabar dari empat gunung utama di Sumba. Setiap perwakilan diberi kesempatan untuk menyampaikan apa yang menjadi kegelisahan, permasalahan, dan perkembangan di kawasan mereka.
Gambar 8: Diskusi “Kabar dari Empat Gunung” bersama para rato dan perwakilan masyarakat empat gunung.
“Setelah dua tahun absens karena pandemi covid, kasus agraria meningkat di Sumba. Perampasan wilayah pesisir, padang gembala untuk privatisasi dan industri pariwisata, perkebunan monokultur, dan juga tambang.” Ucap Umbu Wulang Tanaamahu.
Masalah bersama yang dialami oleh komunitas empat gunung antara lain adalah hama belalang yang sudah berlangsung sejak tiga tahun terakhir. Sebelumnya di tahun 2004, serangan hama belalang dalam jumlah besar juga melanda masyarakat empat gunung sehingga masyarakat mengalami gagal panen dan kerugian lainnya. Untuk mengatasi serangan hama belalang, masyarakat melakukan ritual besar dimana para rato dari empat gunung berkumpul dan ritual tersebut berhasil menghilangkan hama belalang.
“Kami mengajukan permohonan kepada penguasa alam. Kami melakukan ritual adat dari hati. Ritual yang kami lakukan khususnya yang kami lakukan di kampung Wundut, bukti nyata hama belalang hanya singgah.” Labu Lendi, rato dari Wanggameti.
Para rato menilai bahwa serangan belalang yang merajalela bukan tanpa sebab. Rusaknya rantai makanan menjadi salah satu penyebab serangan hama belalang. Diduga burung branjangan (kataitak) konsumen pertama belalang di Sumba, ditangkap dan diangkut ke Kalimantan dan Sumatera untuk mengusir hama perusak tanaman sawit. Penggunaan bahan kimia, ketidaktaatan masyarakat kepada adat saat membuka lahan tanpa, dan salah urus pengelolaan sumber daya alam untuk industri yang bersifat ekstraktif, antara lain, diduga menjadi penyebab gencarnya serangan belalang.
Selain hama, penebangan hutan, taman nasional yang mencaplok hutan adat sehingga masyarakat tidak bisa buka kebun juga menjadi permasalahan bersama. Selama ini, dalam mengelola hutan mereka masyarakat Sumba tidak bisa sewenang-wenang, untuk masuk hutan sebagai contoh, mereka harus melakukan ritual untuk meminta izin dan membawa persembahan seperti ayam dan lainnya.
Masalah lain adalah kelembagaan adat yang sudah melemah. Sehingga sudah sangat susah untuk meneruskan keberlangsungan nilai-nilai Marapu kepada generasi seterusnya. Sebagian besar anak sekolah diwajibkan memilih satu agama yang diakui oleh negara. Di saat mereka sudah memilih agama, nilai-nilai Marapu menjadi sulit untuk diturunkan.
Lemahnya kelembagaan adat juga berimplikasi kepada penguasaan ruang. Sebagian tanah-tanah di pesisir sudah dikuasai oleh tuan tanah dan masyarakat adat sudah kehilangan akses. Perampasan ruang oleh pihak luar (baca: perusahaan) dilakukan dengan pendekatan melalui masyarakat adat. Di beberapa kasus mereka memfasilitasi masyarakat adat untuk membuka lahan dan menanam terlebih dahulu untuk kemudian hasilnya dibagi dua.
“Mereka (pihak luar) itu masuk lewat masyarakat dengan mempengaruhi satu dua orang. Kami ini jadi dibuat berkelahi hanya untuk uang 200-300 ribu saja.” Ucap Yonathan Agu Ate, salah satu masyarakat dari Sumba Tengah.
“Di tahun 2004, seluruh rato dari empat gunung dan masyarakat melakukan ritual besar untuk mengusir hama belalang. Saat ini kita juga mengalami permasalahan yang sama, untuk melakukan ritual yang besar itu juga sudah susah karena tingkat ketaatan masyarakat kepada nilai-nilai adat sudah kecil karena sudah memeluk agama modern.” Tambah Yonathan.
“Kabar dari Empat Gunung” adalah ruang konsolidasi untuk bertukar kesulitan dan mencari solusi bersama. Masyarakat diharapkan dapat merefleksikan apa yang telah mereka lakukan dan kembali kepada nilai-nilai Marapu yang telah membimbing mereka dalam menjalani kehidupan.
Hari kedua dan hari ketiga festival adalah hari yang meriah dimana berbagai perlombaan permainan tradisional diselenggarakan dan pentas seni dari empat gunung ditampilkan.
Diawali dengan permainan menunggang kuda Kuaja Manula. Kuaja dalam Bahasa Sumba adalah menombak, sedangkan Manula adalah kulit. Ratusan masyarakat dari empat gunung berduyun-duyun ke lapangan Kampung Adat Wundut untuk menonton dan juga memberi dukungan dari perwakilan setiap gunung mengikuti kontestan Kuaja Manula.
Permainan ini adalah permainan ketangkasan dengan memacu kuda dan orang yang menaikinya harus menombakkan tongkat yang mereka bawa ke Manula yang dipasang dari batas yang berjarak lima meter dari manula.
Gambar 9: Peserta Kauja Manula.
Gambar 10: Peserta perlombaan Kauja Manula menombakkan tombak ke manula
Orang Sumba adalah penunggang kuda alami dan petarung hebat. Tanpa pelana atau pelindung apapun, satu tangan mereka memacu kuda dan satu tangan mengangkat tombak dan untuk ditombakkan ke dalam Manula.
Permainan tradisional lainnya adalah pamakang (gangsing). Permainan mengadu gangsing yang dilempar ke tanah dan gasing yang berputar paling lama adalah pemenangnya. Untuk itu keseimbangan gengsing sangat diperlukan. Yang menjadi unik dari permainan ini adalah tidak semua gangsing cocok dengan pemain yang akan melemparkan gangsing. Karena bagi masyarakat Sumba pembuatan gasing harus disesuaikan dengan kenyamanan tangan dan pemiliki gasing. Keseimbangan gasing itu antara ketika sedang berputar, kalau sudah berdiri di tempat yang kokoh akan aman.
Gambar 11: Permainan adu gangsing (pamakang).
Menurut kisah dari Yawilla, Sumba Barat Daya, gasing adalah penunjuk arah untuk menemukan yang hilang atau menuju arah yang ingin dituju. Kisah ini bermula ketika seorang kakak meninggalkan adiknya di dalam hutan dan hanya meninggalkan gasing bersamanya. Setelah sang adik beranjak dewasa, ia mempertanyakan keberadaan kakaknya, keluarganya, tanaman yang ditanam kakaknya dengan gasing. Dalam arti lain, gasing ini bukan hanya sekedar permainan tradisional, tetapi juga manura penunjuk kehidupan.
Pata Lima atau permainan panco juga turut memeriahkan festival. Permainan adu kekuatan ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu anak-anak, perempuan, dan laki-laki. Kali ini saya mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam Pata Lima untuk kelompok perempuan. Pembagian lawan, siapa yang akan melawan siapa, didasarkan dengan kekuatan peserta yang setara. Saya diadukan dengan seorang Rambu, yang beberapa tahun dibawah saya. Harus kembali saya katakan, orang-orang Sumba adalah petarung yang hebat. Dalam ronde pertama saya kalah, ronde kedua saya menang, dan ronde ketiga saya kembali kalah.
Gambar 12: Pata lima atau adu ponco untuk kelompok perempuan.
Gambar 13: Pata Lima untuk kelompok laki-laki.
Permainan tradisional tersebut tidak sekadar untuk memeriahkan festival tapi juga untuk menghidupkan lagi karena sudah lama tidak dimainkan seiring perkembangan jaman. Permainan terakhir adalah Motu atau congklak.
Gambar 14: Permainan Motu atau congklak.
Dengan panggung yang disusun secara sederhana dari tumpukan kayu dan penerangan yang terkadang hidup mati, suasana Kampung Adat Wundut begitu berwarna. Pagelaran budaya dan pentas seni memeriahkan malam ketiga festival. Dengan bangga, masyarakat dari empat gunung menampilkan berbagai tarian dan nyanyian dari gunung mereka.
Kanggoula Ngau adalah tarian pertama yang dipentaskan orang muda dari Yawilla. Dibalut dengan pakaian adat dan riasan molek, bergerak secara luwes dan halus mereka menampilkan tarian adat. Tarian tersebut adalah bentuk ucap syukur kepada sang khalik yang tersirat dari setiap gerakan, syair dan seruan.
Gambar 15. Kelompok orang muda dari Yawilla.
“Bentuk rasa syukur tentang apa yang dimiliki oleh masyarakat dari nafas kehidupan, tubuh dan raga, anugarah yang dirasakan oleh manusia dari perlindungan dan kekuasaan yang berasal dari sang pencipta. Berkaitan dengan bentang alam dimana manusia hidup. Ketergantungan manusia dan alam yang saling melengkapi dan saling mengisi. Dalam syair itu kami mensyukuri kasih sayang sang pencipta.” Jelas Petrus, salah satu penampil dari Yawilla.
Selanjutnya adalah nyanyian dan tarian dari tiga gunung lainnya, Wanggameti, Tanadaru, dan Punorubbu baik sendiri maupun berkelompok, baik tua maupun muda. Mereka bernyanyi dan menampilkan tarian tradisional dengan berbagai tema meliputi romansa, kesumbaan antara lain. Masyarakat Sumba adalah masyarakat yang penuh talenta. Kelihaian dalam memainkan jungga dan alat musik tradisional lainnya, keindahan gerak tubuh serta suara merdu yang menyejukkan telinga setiap orang yang mendengarnya, menjadi kebanggaan tersendiri bagi siapa saja yang menjadi bagian dari mereka. Meski saya tidak mengerti lirik dan bahasa yang mereka nyanyikan, namun lantunan indah yang dibawakan, kelembutan tariannya, memberikan perasaan tenang dan menyejukkan hati.
Gambar 16: Penampil solo dari Wanggemeti.
Saya memiliki kesempatan untuk memahami lebih baik tentang nyanyian yang dipentaskan dengan salah satu penampil dari Yawilla. Dominggus Dengi Bokol adalah salah satu anggota, penyanyi sekaligus pencipta lirik dari kelompok yang tidak diberi nama. Lagu dan tarian yang mereka bawakan adalah refleksi dan diciptakan secara spontan mengikuti acaranya.
Gambar 17: Kelompok penampil dari Yawilla.
“Seperti di Festival Wai Humba, salah satu lagu yang kami bawakan tentang empat gunung. Kebersamaan masyarakat, bagaimana kami mensyukuri kebersamaan ini. Dan lagu itu kami ciptakan disaat itu juga.” Jelas Dominggus.
Gambar 18: Dominggus Dengi Bokol.
Tidak hanya lagu yang diciptakan secara spontan, namun tarikan dawai jungga, tabuhan gendang, tarian yang menemani lagu-lagu mereka juga secara dilakukan secara spontan dan secara memukau sinkron.
Dengan talenta yang dimiliki, masyarakat Sumba menggunakan itu untuk memuliakan yang berada di sekitar mereka.
Ritual yang dihidupkan untuk pelestarian lingkungan
Penganut Marapu percaya perlakuan manusia terhadap alam dan sekitarnya akan kembali kepada diri mereka. Apabila manusia bijak dalam mengelola alam sekitarnya, maka alam juga akan bijak kepada manusia yang membutuhkannya.
Dalam mengelola sumber daya alam, spiritualitas Marapu terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sumba. Sebagai contoh, ketika masyarakat membutuhkan kayu untuk membangun rumah. Masyarakat tidak boleh serampangan dalam menebang kayu di hutan. Mereka harus melakukan hamayang ponggu ai untuk meminta petunjuk kepada Marapu agar rencana mereka diberkati, mulai dari melakukan survei lokasi untuk ditebang dan pemilihan pohon untuk digunakan. Malam sebelum hamayang ponggu ai, masyarakat melakukan ritual puyi mowal dimana mereka menyampaikan kepada Marapu terkait jenis kayu dan jumlah kayu yang akan dibutuhkan dengan persembahan ayam dan babi.
“Saat ritual masyarakat akan mendapatkan jawaban dari Marapu melalui pembacaan hati ayam dan babi. maka masyarakat adat hanya boleh mengambil jenis dan jumlah kayu yang diizinkan oleh Marapu. Jika ini dilanggar, maka masyarakat adat akan mengalami kesialan bahkan kematian.” Jelas Umbu Tri.
Selain itu, ada berbagai ritual yang dilakukan masyarakat adat secara rutin terkait perlindungan hutan. Misalnya, ritual hamayang La Utang yang dilakukan sebagai upaya menjaga hutan dan seluruh ekosistem di dalamnya, termasuk pohon, satwa liar, dan jenis tanaman lain yang dapat digunakan untuk mendukung hidup masyarakat seperti sayuran, rempah-rempah, umbi-umbian dan bahan obat tradisional.
Dan sebaliknya, masyarakat juga melakukan ritual ketika hutan mengalami kerusakan. Hamayang Kacua Utang adalah ritual yang dilakukan untuk memohon permintaan maaf kepada Marapu atas kerusakan ekologi yang terjadi, seperti kematian hewan, burung, serangga, tumbuhan, yang disebabkan oleh kebakaran atau eksploitasi sumber daya hutan. Dalam ritual tersebut juga terdapat larangan bagi siapapun untuk mengambil sumber daya hutan sampai batas waktu yang ditentukan. Masyarakat meminta agar roh semua spesies yang hidup di lingkungan hutan terlahir kembali selama ritual.
Prosesi ritual adalah hal yang tak bisa dipisahkan dan penting dalam festival Wai Humba. Setiap lokasi yang mempengaruhi kehidupan akan dikunjungi secara rutin untuk ritual adat. Sumber air misalnya sebagai tempat sembahyang yang memiliki norma adat yang meliputi larangan, kewajiban, dan konsekuensi. Ritual Kalarat Wai dilaksanakan di mata air Kalaukauki, Desa Wundut, Sumba Timur pada hari ketiga festival.
Gambar 19: Ritual kalarat wai yang dilakukan di salah satu mata air, kampung Wundut, Sumba Timur.
Saya tidak dapat mengikuti ritual karena hanya kelompok laki-laki yang diizinkan. Ada batasan biologis seperti haid yang tidak memperbolehkan perempuan berada di lokasi sakral. Kelompok perempuan mengambil peran mereka dalam mempersiapkan kebutuhan selama proses ritual. Bagian ini, saya hanya bercerita dari apa yang saya dengar dari mereka yang mengikuti proses ritual.
“Ritual di mata air, Kalarat Wai, adalah ritual yang dilakukan untuk memohon kepada sang pemilik mata air agar mata air dan ekosistem tetap terjaga dengan baik sehingga debit airnya tetap bertahan.” Ujar Umbu Tri.
Proses ritual Kalarat Wai dibagi menjadi beberapa proses. Proses pertama adalah La Mau Langi Papanjang yang di lakukan di pintu masuk mata air dengan menaruh sirih dan pinang untuk persembahan. Masih di tempat yang sama, kemudian dilakukan pui mu awal atau pemanggilan roh penjaga mata air air.
Setelah diketahui roh penjaga mata air kembali, hamayang dilakukan di tempat mata air dengan persembahan satu ekor ayam. Rato yang memimpin prosesi melambaikan sarung ke timur dan ke barat untuk memanggil sang penjaga mata air untuk datang. Ayam yang menjadi persembahan tersebut dipotong untuk dibaca hatinya. Anak-anak yang mengikuti prosesi ritual diminta untuk mandi di mata air. Hasil dari pembacaan hati ayam tersebut adalah masyarakat harus terus melakukan ritual dan melestarikan mata air, hutan yang ada disekitarnya.
Prosesi selanjutnya adalah La pino yang dilakukan di pohon besar diatas mata air. Dua ekor ayam dan satu ekor babi menjadi persembahan untuk disembelih. Hati babi dan ayam kemudian dibaca oleh rato yang memimpin ritual untuk melihat masa depan dan meminta petunjuk apa yang bisa dilakukan. Hasil dari pembacaan hati tersebut adalah antara lainnya adalah peringatan dari marapu untuk terus menjaga sumber mata air dan menjaga kepercayaan marapu.
Malam hari sebelum ritual kalarat wai dilakukan, masyarakat melakukan ritual na wehang na tana hunga na hade yang merupakan penyampaian rencana dan permohonan kepada Marapu terkait dengan rencana untuk ritual ke mata air.
Meningkatkan perlawanan dan persaudaraan serta merawat peradaban
Sejak instalasi pertama, Festival Wai Humba telah menghasilkan banyak kesuksesan. Salah satu kemenangan besar festival ini adalah tumbuhnya perlawanan dan persaudaraan dalam masyarakat empat gunung terhadap pembangunan yang merusak alam. Contoh nyata adalah empat gunung yang menjadi sumber utama kehidupan masyarakat sudah bebas dari tambang karena dikeramatkan.
Permainan tradisional yang sudah lama tiarap juga mulai muncul lagi menjadi perlombaan di tingkat sekolah. Praktik ‘mandara’ atau barter hasil bumi dan peternakan juga masih terus dilakukan oleh masyarakat tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan makan tapi juga sebagai wadah mempererat persaudaraan.
“Salah satu keberhasilan dalam festival Wai Humba adalah festival ini berhasil menghidupkan kembali permainan tradisional di sekolah-sekolah, menjadi permainan untuk lomba di tingkat sekolah yang awalnya sudah mati.” Ungkap Umbu Wulang Tanaamahu.
Selama saya di Sumba saya belajar dan merefleksikan banyak hal. Sumba tidak diragukan lagi merupakan oasis kedamaian, tempat yang tenang dan menyegarkan di tengah hiruk pikuk hidup perkotaan. Alam masih menopang kehidupan manusia, ritual yang dilakukan menuntun saya untuk lebih menghormati alam. Dan juga, masyarakat yang terus terhubung meski setiap daerahnya mereka memiliki bahasa masing-masing.
Akan tetapi Sumba lebih dari itu, di setiap lekukan dan sudutnya, Sumba memiliki nilai dan kekayaan yang tidak akan ditemukan di tempat lain. Tanah Sumba adalah tanah leluhur, dimana Haharu Malai menjadi sejarah panjang perjalanan nenek moyang orang Sumba menginjakkan kaki pertama kali di pulau yang luhur ini. Haharu Malai lebih dari sekedar situs, ia adalah akar peradaban Sumba, yang mendefinisikan kehidupan masyarakat, adat istiadat, kepercayaan, serta hubungan manusia dengan alamnya.
Meski demikian, Sumba dengan keindahan alamnya yang melimpah dan tak tertandingi serta kekayaan adat istiadatnya tidak lepas dari ancaman dari pihak yang ingin mengeksploitasinya.
Saya jadi teringat akan perkataan yang pernah diucapkan oleh direktur saya, Zenzi Suhadi. “Buah terbesar dari alam adalah peradaban. Buah termanis dari alam itu adalah bahasanya. Kalau alamnya hancur, kedua itu akan hancur.”
Manusia di nusantara dalam perjalanannya telah mengalami banyak kehilangan atas nama pembangunan, dari hutan yang masih alami, budaya yang kaya, bahasa, tradisi dan praktik lokal yang tumbuh dan membentuk peradaban mereka.
Namun, peradaban manusia nusantara yang berkembang secara bertahap dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan, kini perlahan hancur hingga generasi muda tidak lagi mengenal adat-istiadatnya, kehilangan bahasa daerahnya. Misalnya, tradisi sirih pinang, ia adalah tradisi manusia di nusantara tidak hanya di Sumba saja. Akan tetapi, tradisi tersebut mulai memudar seiring berkembangnya zaman. Runtuhnya peradaban ini bukan tanpa sebab, yang sering luput dari perhatian adalah apa menyokong peradaban tersebut telah punah untuk tujuan yang lain sehingga tidak bisa lagi diwariskan kepada generasi selanjutnya
Humba bukan sekadar komunitas yang memiliki solidaritas yang tinggi, budaya yang kaya, adat istiadat yang masih dijaga kuat, namun juga peradaban yang masih dirawat. Satu hal yang begitu menginspirasi saya adalah bagaimana masyarakatnya Sumba menjaga peradaban mereka. Mereka mewarisi dan merawat adat leluhur yang telah menjadi penopang hidup mereka.
Namun, hal lebih besar yang menginspirasi saya dari konsistensi perayaan festival ini adalah semangat “Nda Humba Lila Mohu A Kama” atau “Kami bukan Sumba yang menuju kemusnahan” yang akan terus hidup dan menyala. Festival empat gunung menjadi jalan keluar untuk terus merayakan budaya dan tradisi Sumba, melawan pembangunan yang ekstraktif dan mengingatkan kembali terhadap spiritualitas Marapu yang selama ini telah menjadi pegangan hidup mereka.
Gambar 20: Masyarakat adat Sumba berpartisipasi dalam festival Wai Humba.