Tugas Generasi Muda dalam Gerakan Keadilan Iklim

Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI

Akhir Februari 2022 lalu, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merilis Laporan Penilaian Keenam (Assessment Report 6) yang wajib menjadi perhatian semua pihak. Laporan tersebut merupakan peringatan penting mengenai bahaya dampak krisis iklim yang harus dihadapi oleh umat manusia. Dalam dua dekade mendatang, akan terjadi peningkatan temperatur global sebesar 1,5 derajat Celcius.

Akibatnya, akan muncul gelombang panas, banjir bandang dengan intensitas yang sangat tinggi, kekeringan ekstrim yang mengancam sumber-sumber pangan dan air bersih, serta memperburuk kesehatan masyarakat dunia. Di Indonesia, krisis iklim memaksa lebih dari 34 persen orang hidup dengan kelangkaan air pada tahun 2050. Selain itu, produksi beras dapat menurun 6 persen dan jagung akan menurun 14 persen dari total produksi saat ini.

Pada saat yang sama, kenaikan temperatur akan menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling menderita secara global dengan naiknya permukaan laut. Sekitar 20 juta orang di Indonesia saat ini tinggal di wilayah yang rentan terhadap banjir rob. Tingginya produksi emisi akan meningkatkan dua kali lipat jumah orang yang terdampak banjir rob pada akhir abad ini.

Di sektor perikanan, peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis serta mengurangi pendapatan Indonesia dari penangkapan ikan sebesar 24 persen. Secara umum, di Asia Tenggara, 99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati dikarenakan krisis iklim pada pada tahun 2050. Ikan-ikan karang akan mati dan pangan laut akan dipertaruhkan.

Membaca Keresahan Anak Muda

Anak muda adalah kelompok masyarakat yang paling resah dengan situasi buruk planet bumi. Pada Januari 2021 lalu, United Nations Development Programme (UNDP) menggelar survei global dengan topik People’s Climate Vote. Survei ini, merupakan survei opini publik terbesar tentang krisis iklim yang dilakukan di 50 negara yang mencakup 1,2 juta responden.

Di antara poin penting survei ini adalah kaum muda yang berusia di bawah 18 tahun percaya bahwa krisis iklim merupakan keadaan darurat global, daripada kelompok usia lainnya. Hampir 70 persen anak di bawah 18 tahun mengatakan bahwa krisis iklim adalah keadaan darurat global, dibandingkan dengan 65 persen dari mereka yang berusia 18-35, 66 persen berusia 36-59 dan 58 persen dari mereka yang berusia di atas 60. Sebanyak 59% yang menyebut krisis iklim sebagai darurat global, mengatakan dunia harus segera melakukan segala sesuatu yang diperlukan.

Kenapa anak-anak muda begitu resah dengan krisis iklim? Di antara jawabannya, karena pada masa yang akan datang, mereka akan mewarisi bumi yang rusak akibat pembangunan yang dipilih oleh generasi saat ini yang memegang kepemimpinan politik, baik di tingkat global maupun nasional.

Dengan demikian, pilihan pembangunan dan pengelolaan terhadap beragam sumber daya alam oleh generasi saat ini, akan memberikan dampak yang sangat panjang dan luas bagi generasi masa depan. Daya dukung dan daya tampung planet bumi sangat penting dipertimbangkan tak hanya untuk generasi hari ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Inilah yang dinamakan dengan keadilan antargenerasi.

Keadilan antargenerasi, paling tidak, mengadung dua makna berikut, yaitu: pertama, setiap generasi mewarisi sumber-sumber alam dan habitat yang berkualitas dan mewariskannya pula pada generasi selanjutnya sehingga generasi ini memiliki kesempatan yang setara dalam kualitas fisik, ekologi, ekonomi dan sosial; dan kedua, generasi kini tidak boleh mewariskan generasi selanjutnya sumber-sumber alam yang tidak dapat diperbarui.

Tugas Generasi Muda Muslim

Dengan jumlah anak muda sekitar 172 juta jiwa, gerakan iklim di Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis. Sebagai bagian terpenting dari kelompok anak muda ini, generasi muda muslim wajib terlibat aktif bahkan menjadi inisiator dan aktor utama wacana dan aksi keadilan iklim ini.

Generasi muda muslim wajib menghayati pesan al-Quran yang menyebut kata bumi (al-ardh) lebih dari 450 kali. Banyaknya penyebutan ini mengindikasikan, keadilan sekaligus keberlanjutan planet bumi dengan beragam kehidupannya yang ada di dalamnya adalah misi penting ajaran Islam. Lebih jauh, terkait dengan penguasaan serta pengelolaan beragam sumber daya alam, al-Qur’an selalu menggunakan kata-kata ‘kalian’ (antum atau kum) sebagai subjek pengelola bumi. Maknanya, sumber daya alam tidak boleh dikuasasi dan dikelola hanya oleh kelompok tertentu saja, melainkan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Selain itu, al-Qur’an banyak mengulang larangan berbuat kerusakan di muka bumi. Larangan tersebut mengindikasikan pentingnya menjaga bumi untuk generasi yang akan datang. Kata fasad yang disebut lebih dari 50 kali, digunakan al-Qur’an untuk menggambarkan krisis yang memiliki dimensi lahir dan batin. Para ulama mendefinisikan fasad sebagai satu situasi dimana keseimbangan telah hilang dalam kehidupan (khuruj al-sya’i ‘an al-‘itidal). Dimensi lahir fasad adalah hancurnya beragam ekosistem penting, sedangkan dimensi batinnya adalah kerusakan itu disebabkan oleh rusaknya hati dan pikiran manusia dalam mengelola sumber daya alam.

Lebih jauh, generasi muda muslim wajib tergabung dalam gerakan keadilan iklim global, diantaranya dengan gerakan Friday for Future yang diinisasi oleh Greta Thunberg. Gerakan ini telah diikuti oleh lebih dari empat juta orang pelajar di lebih dari 125 negara. Tuntutannya, mendesak pemimpin dunia mengambil tindakan segera untuk mencegah krisis iklim serta mengubah sistem yang menyebabkan krisis iklim.

Pada masa yang akan datang, gerakan keadilan iklim wajib ditempatkan untuk merespon tiga hal berikut, yaitu: pertama, miskinnya perspektif keadilan iklim dalam diskursus keagamaan. Sampai hari ini, tak banyak para ulama yang mengulas krisis iklim dalam karya-karya mereka; kedua, kuatnya dominasi dan hegemoni negara-negara industri dan perusahaan trans nasional, sebagai agen dari kapitalisme global, yang mengeksploitasi sumber daya alam di negara-negara berkembang; dan ketiga, masih kuatnya paradigma ekonomi pertumbuhan dalam pembangunan nasional yang mendorong beragam praktik eksploitasi sumber daya alam. 

Gerakan keadilan iklim adalah keniscayaan. Ia adalah artikulasi terkini dari al-amru bil ma’ruf wa nahyu anil munkar yang harus menjadi kepentingan utama generasi muda muslim(*) 

Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik opini harian Republika pada Jumat 22 Juli 2022